Pendahuluan
Dalam sebuah organisasi, memahami karakter latar belakang budaya dan psikologi tiap anggota dalam organisasi adalah sangat penting. Kekuatan mempengaruhi dari seorang pemimpin adalah pada saat ia mampu mengarahkan seluruh elemen dalam organisasi, untuk mampu melaksanakan apa yang diharapkan oleh dirinya. Dalam mengarahkan tersebutlah, dibutuhkan bentuk komunikasi yang harus dapat dipahami oleh seluruh anggota organisasi. Memang dalam berkomunikasi, sang pemimpin dapat menggunakan bahasan yang diistilahkan sebagai “Bahasa universal.” Akan tetapi Bahasa universal tersebut hanya dapat dimengerti secara general, dan tidak menjangkau tugas-tugas yang sifatnya teknis. Untuk itu selain Bahasa universal, diperlukan juga pemahaman lintas budaya sebagai salah satu syarat dalam berkomunikasi. Dengan memahami kekayaan lintas budaya tiap anggota, maka sang pemimpin berupaya masuk kedalam psikologi internal anggotanya, dan hal ini akan memberikan pengaruh yang positif dalam memimpin.
Budaya tidaklah tunggal, namun plural. Budaya dibentuk dalam sejarah peradaban manusia. Menurut Koentjaraningrat (2004), kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Budaya merupakan sesuatu yang tidak bisa dtolak, karena dia merupakan produk peradaban. Pada saat globalisasi menjadi trend saat ini, maka budaya global merupakan kewajiban yang harus diterima oleh masyarakat global yang plural tersebut.
Cross cultural understanding (pemahaman lintas budaya) merupakan bentuk mengenal dan mampu mengoptimalkan budaya dalam menjalankan peran pemimpin. Kompetensi ini sangat dibutuhkan untuk mengatasi berbagai persoalan dalam manajemen organisasi. Pada saat manusia memasuki dunia global, ia harus berusaha memahami berbagai macam budaya yang berada dalam global village. Dengan mamu berperilaku sesuai dengan konteks budaya tertentu,maka seseorang akan dengan mudah menyampaikan dan mengmplementasikan berbagai ide.
Pemahaman lintas budaya sangat dibutuhkan agar tercipta komunikasi lintas budaya yang efektif dan juga tercipta sebuah manajemen lintas budaya yang mengptimalkan kinerja seorang pemimpin. Dengan komunikasi lintas budaya yang baik, maka akan tercipta suasana sinergitas dan harmonis. Setiap orang akan selalu menghargai dan menghormati, serta hidup dalam suasana toleransi yang tinggi. Dan dengan manajemen lintas budaya yang baik, maka akan tercipta satu budaya organisasi yang sesuai dengan konteks kebutuhan organisasi, tanpa meniadakan karakter asali dari tiap anggotanya.
Komunikasi lintas budaya
Pada hakikatnya semua tindakan komunikasi berasal dari konsep kebudayaan. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbedaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan berbeda pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan.
Adapun elemen-elemen komunikasi lintas budaya, yakni: 1) Persepsi, merupakan proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasi rangsangan dari lingkungan eksternal. Dengan demikian orang-orang yang berprilaku sedemikian rupa sebagai hasil dari cara mereka mempersepsi segala sesuatunya sedemikian rupa pula. 2) Proses-proses Verbal, yang meliputi bahasa verbal dan pola berpikir suatu budaya. 3) Proses Non Verbal yang relevan dengan komunikasi antar budaya.
Selanjutnya dalam berkomunikasi litntas budaya terdapat beberapa hambatan yang harus dihindari. Namun secara umum, hanya ada dua hambatan besar yang memiliki faktor kuat dalam menghambat terciptanya komunikasi yang efektif. Hambatan yang pertama adalah Prasangka Sosial. Prasangka sosial merupakan suatu sikap negatif, yang diarahkan kepada kelompok tertentu, dan lebih difokuskan kepada suatu ciri-ciri atau karakteristik yang negatif pada kelompok tersebut. Dengan adanya prasangka sosial, akan menutup jalur komuikasi keluar. Hambatan kedua yakni etnosentrisme. Kebanggaan bahwa budaya yang dimiliki adalah kebudayaan terbaik, ketimbang budaya lainnya. Etnosentrisme akan mengarahkan pada terjadinya politik identitas, dan hal ini akan membuat amatan terhadap kinerja seseorang menjadi subyektif dan tidak obyektif lagi. Karena kedekatan budaya tertentu lebih menjadi perekat, ketimbang profesionalitas.
Kemampuan berkomunikasi lintas budaya
Perlu disadari bahwa budaya yang ada di dunia ini sangat beragam dan berjumlah yang banyak. Memang ada beberapa kecenderungan budaya yang mirip. Akan tetapi tidak serta merta membuatnya sama.
Berkaitan dengan kemampuan berkomuikasi lintas budaya, Erin Meyer seorang peneliti dan konsultan komunikasi lintas budaya memaparkan bahwa terdapat dua konteks budaya komunikasi manusia. Sisi satu merupakan konteks budaya rendah, yang mana menekankan pada saat berkomunikasi, para komunikan berasumsi bahwa mereka memiliki titik acuan yang sama. Mereka berasumsi bahwa mereka memilliki relasi, informasi dan sudut pandang yang berbeda. Dan hal inilah yang membuat mereka berada pada titik rendah yang sama. Dalam konteks ini, budaya komunikasi yang harus dilakukan haruslah jelas (clear), explisit, dan dapat meningkatkan kesaling percayaan. Kelompok masyarakat yang berada dalam konteks budaya ini, merupakan masyarakat yang plural dan datang dari berbagai wilayah untuk berkumpul dalamstu wilayah. Berikutnya, pada sisi lainnya adala konteks budaya tinggi. Pada konteks ini, kohesi dalam masyarakat sudah terikat ribuan tahun. Sehingga mereka sudah saling memahami dan memiliki kekerabatan yag tinggi. Hal ini membuat mereka akan berkomunikasi dengan “membaca suasana.” Mereka tidak akan menyapaikan sesuatu secara jelas,namun dengan Bahasa simbol, metafora, dan Bahasa “diam (silent),” namun mampu dimengerti oleh komunikan lainnya.
Dengan demikian memahami konteks dari mana seseorang berasal adalah penting. Seorang yang pendiam dan jarang berbicara, tidak serta menempatkan prasangka negatif terhadapnya. Namun dalam budaya tertentu, diam dan jarang berbicara merupakan sebuah konteks budaya tingkat tinggi. Hal ini sebaliknya, apabila seseorang aktif dalam berdiskusi (bahkan terkesan mau mendominasi pembicaraan), bukan berarti dia arogan. Namun mungkin saja ia berasal dari konteks budaya yang plural, sehingga ia menginginkan komunikasi yang efektif.
Lalu bagaimana cara berkomunikasi yang mampu mengakomodir keduanya? Pola komunikasi yang dibutuhkan dalam cross cultural teams adalah :
- Dalam kelompok konteks budaya rendah, maka perlu sesuatu yang sifatnya detail. SOP (Standarts Operational Procedure), petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang detail sangat dibutuhkan. Semua informasi harus diberikan secara jelas dan tansparan. Poin-poin penting dalam bentuk tulisan sangat dibutuhkan.
- Sedangkan dengan orang-orang konteks budaya tinggi, lakukan arahan dengan mengajukan pertanyaan klarifikasi, ulangi, dan tingkatkan kemampuan mereka untuk "membaca suasana."
Dengan demikian, kepekaan untuk memahami konteks budaya anggota anda dalam organisasi adalah penting. Pemahaman awal tersebut akan membantu organisasi berkembang, sekaligus mengembangkan anggota secara individu.
Berikutnya dalam hal memberikan masukan yang membangun terhadap anggota secara individu, juga membutuhkan kehati-hatian. Anda perlu memahami bahwa tidak semua budaya memiliki penerimaan yang baik terhadap masukan atau nasehat. Erin Meyer menggambarkan sebaran negara-negara berdasarkan peneriaan terhadap masukan/ nasehat yang bisa diberikan pada mereka.
Cara memberikan masukan/ nasehat yang membangun dalam kelompok cross cultural :
- Untuk konteks budaya tinggi haruslah menggunakan kalimat-kalimat seperti ini, “mungkin perlu ditambahkan” atau “mungkin perlu dikurangi.” Hal ini berbeda dengan dalam konteks budaya rendah, yang langsung memberikan masukan dengan kalimat seperti “Sangat diperlukan” atau “Sangat tidak dibutuhkan.” Pada konteks budaya tinggi, kata “mungkin”akan lebih sopan dan membuat komunikan mampu untuk memahami makna “suasana” dibalik kata tersebut. Sedangkan dalam konteks budaya rendah, bisa langsung menunjukan dan memberikan penilaian pada kinerja mereka. Karena hal tersebutlah yang jelas dibutuhkan.
- Ketika memberikan masukan, mulailah dengan memberikan respect, berupa capaian positif dalam kinerja mereka terlebih dahulu, dan selanjutnya diikuti dengan memberikan masukan tambahan, yang merupakan hasil evaluasi obyektif terhadap kekurangan dalam kinerja mereka.
Selain dalam hal memberikan nasehat, perlu juga diperhatikan model-model situasi dalam diskusi. Menurut Meyer, ada tiga budaya diskusi berdasarkan cross cultural understanding:
- Ada budaya diskusi yang pada saat seseorang berbicara, orang lain juga ikut berbicara (atau menimpali percakapan). Hal ini menunjukan antusiaisme dan semangat dalam berdiskusi, atau menunjukan kepemilikan relasi yang baik antar komunikan. Dalam budaya seperti ini, kesunyian dalam diskusi adalah sesuatu yang negatif. Karena ada perasaan seperti tidak diterima, dimusiuhi dan lainnya
- Ada budaya diskusi yang pebicaraannya seperti pertandingan pim pong (tenis meja). Orang lain akan berbicara setelah yang lainnya tidak berbicara, dan sebaliknya, hingga diskusi tersebut akan seperti percakapan timbal balik.
- Ada budaya diskusi yang pada saat seseorang selesai berbicara ada jeda kesunyian (pause), sebelum ada respon dari komunikan lainnya. Budaya diskusi sepeti ini sering terjadi dalam konteks budaya tinggi. Dalam kelompok ini, kesunyian dalam diskusi adalah hal yang positif, karena itu mengindikasikan bahwa anda adalah pendengar yang baik, anda berpikir dahulu sebelum berdiskusi, dan atau bsa juga tidak mengandung makna apapun.
Ketiga situasi diskusi tersebut sering terjadi dalam rapat-rapat. Kalau memperhatikan pola ketiga diskusi diatas, maka budaya diskusi ketiga selalu kalah dalam meyampaikan pendapat dalam forum-forum yang besar. Untuk itu mereka perlu diberikan forum yang tepat, sehingga mereka selalu mempersiapkan diri dan mampu menunjukan persiaan mereka dalam ruang-ruang diskusi.
Dengan memahami konsep umum dalam komunikasi lintas budaya ini, maka sang pemimpin mampu mengarahkan dan mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya. Disaat yang sama ia akan memperoleh pengaruh yang besar dari orang-orang yang memiliki konteks budaya yang berbeda.
Penutup
Pemimpin yang baik harus mampu memahami orang-orang yang dipimpinnya dan berkomunikasi dengan mereka. Dengan memahami metode komunikasi lintas budaya, maka seseorang akan menjadi komunikator yang handal sekaligus pemimpin yang mengerti orang lain. Budaya yang plural bukanlah ancaman dalam kepemimpinan, namun merupakan kekuatan untuk dikelola. Seorang pemimpin yang mampu berkomunikasi lintas budaya secara baik, memungkinkan ia menjadi pemimpin di level global.
Daftar Pustaka
- Cropo, Richley, 2001. Cultural Antropologi. 5 Th Edition. Utah State University : Logan
- Kentjaraningrat, 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta
- Meyer, Erin, 2017, The Culture Map, USA : INGRAM PUBLISHER
- Northouse, Peter G. 2013. Leadership : Theory and Practice 6th. United States of America : SAGE Publication.
(Materi disusun dan dibawakan oleh Ricky Arnold Nggili, S.Si-teol.,M.M, dalam kegiatan Pelatihan dasar kepemimpinan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Komunikasi UKSW, hari Sabtu, tanggal 27 Oktober 2018, pukul 07.30 – 10.45 WIB, di ruang A108 UKSW)
Posting Komentar